2. PENGERTIAN-PENGERTIAN TENTANG DASAR-DASAR KEMANUSIAAN
Bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram atau bisa
dikatakan bebas dari segala yang menyusahkan. Mencari kebahagiaan adalah
fitrah murni setiap manusia. Tanpa melihat apakah lelaki atau
perempuan, tua atau muda, orang kaya atau orang miskin, orang besar atau
orang kecil, semua menginginkan kebahagiaan. Segala tindak tanduk
manusia dapat dilihat tidak lain dan tidak bukan hanyalah demi mencari
kebahagiaan.
Kebahagiaan bukan terletak pada tangan, mata, kaki, telinga, atau yang
lainnya. Kebahagiaan terletak pada hati (jiwa). Orang yang mendapat
kebahagiaan akan merasa ketenangan hati, ketenangan jiwa dan keindahan
ruh. Pada kenyataannya, berbagai cara dan jalan telah ditempuh manusia
untuk mendapatkan kebahagiaan. Ada yang berusaha mencari kebahagiaan
melalui kekayaan, pangkat, nama, kemasyhuran atau isteri yang cantik.
Hal-hal tersebut menjadi permasalahan apakah semua itu dapat memuaskan
hati manusia dengan mutlak.
Banyak manusia yang mencari kebahagiaan melalui kekayaan. Setelah
manusia itu mendapatkan kekayaan, rupanya tetap tidak akan dapat
terhindar dari masalah-masalah yang tidak menyenangkan, yaitu
ujian-ujian dalam hidup. Ujian-ujian itu merupakan sunnatullah yang
sengaja Allah datangkan kepada setiap manusia. Contohnya, seseorang
tidak dapat terhindar dari sakit yang Allah datangkan kepadanya. Jika
sudah ditimpakan kesakitan maka di waktu itu kekayaan tidak berguna
lagi. Atau misalnya di lain waktu terjadi pencurian, kebakaran, diancam
orang dan sebagainya. Kalau semua itu terjadi, kekayaan sebesar apapun
itu tidak dapat memberi kebahagiaan kepada manusia. Sebagian lagi
mencari lewat jabatan, pangkat, dan materi. Namun, hal itu juga tidak
menjamin mereka akan bahagia.
Islam telah menetapkan tugas manusia di bumi sebagai khalifah di
dalamnya. Hanya saja dalam pelaksanaannya seringkali ada kesulitan,
sehingga menuntutnya pun harus bersungguh-sungguh dan bersabar.
Kebahagiaan yang paling ditekankan Islam adalah kebahagiaan akhirat,
namun bukan berarti kebahagiaan dunia ditelantarkan. Bahkan kebahagiaan
di dunia ini berusaha diwujudkan dalam bentuk yang sebenarnya. Yakni
dengan mengabdikan diri kepada Allah S.W.T semata sebagai panggilan dari
fitrah diri manusia yang ia diciptakan di atasnya. Sehingga dengan itu
akan mendapat ketenangan dan ketentraman. Dan ini menjadi kunci utama
tercapainya kebahagiaan, walaupun itu dalam keadaan musibah dan bencana.
Ia jadikan musibah tersebut menjadi ladang untuk mendapatkan keutamaan
dan pahala besar yang menjaminnya masuk dalam surga, yakni dengan sabar.
Jika mencari kebahagiaan itu diusahakan dengan jalan kebendaan,
percayalah manusia akan gagal mendapatkan kebahagiaan. Manusia akan
mencapai kekecewaan, manusia akan merasa malang setiap hari, jiwa tidak
akan tenang, tidak tenteram sepanjang masa. Inilah yang dikatakan
‘neraka’ sementara sebelum merasakan neraka yang sebenarnya yang dahsyat
lagi mengerikan di akhirat nanti. Wallahu Ta’ala a’lam.
Jumat, 02 Desember 2016
NDP BAB 1
1. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara intuitif (common sense) yang menjadi Kepercayaan utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya.
Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).
Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya.
Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan.
Manusia - yang terbatas - tidak sempurna – tergantung - memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok Mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera
secara material, dan tunggal (Esa/Ahad).
Dengan demikian diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia Mahabesar“. Sesungguhnya Ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak.
Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian spritual.
Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan.
Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini.
Konsukuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/ kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala.
Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara intuitif (common sense) yang menjadi Kepercayaan utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya.
Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).
Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya.
Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan.
Manusia - yang terbatas - tidak sempurna – tergantung - memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok Mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera
secara material, dan tunggal (Esa/Ahad).
Dengan demikian diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia Mahabesar“. Sesungguhnya Ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak.
Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian spritual.
Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan.
Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini.
Konsukuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/ kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala.
sejarah perjuangan hmi
SEJARAH PERJUANGAN HMI*
Sejarah
adalah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi dan terdokumentasikan.
Sejarah juga bisa diartikan suatu kebetulan terjadi dimasa lalu dan
benar-benar terjadi, dan kebetulan pula dicatat, biasanya kebenaran
sejarah didukung bukti-bukti yang membenarkan peristiwa itu benar-benar
terjadi. Menurut pengamatan serta analisa bahwa sejarah membuat manusia
mengalami romantisme sejarah serta edukatif. Sedang, menurut hemat
penulis manfaat serta kegunaan sejarah adalah sebagai; sumber inspirasi,
aspirasi dan motifasi.
B. Masyarakat arab pra Islam
Jahiliyah
(istilah dipakai untuk menandai masa sebelum Nabi Muhammad SAW lahir),
pola hidup primitif, kabilah-kabilah, nomaden, dalam lingkungan yang
ummi (tidak mengenal baca tulis), bersuku-suku, primordial, jauh dari
peradaban, menyebabkan hidup dalam kegelapan dan tenggelam dalam
kebodohan.
C. Masa Kenabian
# Fase Makkah
Muhammad SAW pada tanggal 17 Ramadhan yang bertepatan dengan 6 agustus
610 datanglah malaikat jibril yang menyampaikan wahyu pertanda bahwa
beliau dilantik menjadi rasul dan nabi. Beliau mengajak masyarakat ke
arah perubahan akhlak, karena perubahan tersebut sangat urgen. Dimata
Allah SWT yang berbeda hanyalah ketaqwaan saja. Pada fase Makkah ajaran
yang disampaikan berkaitan dengan ketauhidan atau iman, akhlak.
# Fase Madinah
Kaum
muslim yang ada diMadinah ada dua, muhajirin (pendatang dari Makkah)
dan anshor (tuan rumah). Langkah Nabi SAW adalah menyatukan kedua kubu
tersebut dengan mempertalikan hubungan kekeluargaan atau hubungan
persaudaraan antara kaum anshar dan muhajirin. Nabi Muhammad disamping
menjadi pemimpin agama juga menjadi pemimpin negara, pemimpin politik,
dan administrasi yang cakap.
Dasar-dasar
kehidupan bermasyarakat, yakni, pertama, pembangunan masjid, kedua,
ukhuwah Islamiyah, ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain
non-muslim.
D. Kondisi Islam di Indonesia
Kondisi
ummat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4
(empat) golongan, yaitu : Pertama : Sebagian besar yang melakukan ajaran
Islam itu hanya sebagai kewajiban yang diadatkan seperti dalam upacara
perkawinan, kematian serta kelahiran. Kedua : Golongan alim ulama dan
pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan ajaran Islam sesuai
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga : Golongan alim ulama dan
pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh mistikisme yang menyebabkan
mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat
saja. Keempat : Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan
kemajuan zaman, selaras dengan wujud dan hakekat agama Islam. Mereka
berusaha supaya agama Islam itu benar-benar dapat dipraktekkan dalam
masyarakat Indonesia.
E. Kondisi ketika HMI berdiri
Latar Belakang Pemikiran
Peristiwa Bersejarah 5 Februari 1947
Setelah
beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir dengan kegagalan.
Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan
pertemuan secara mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika
itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5
Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan
(sekarang Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang
dalam prakatanya dalam memimpin rapat antara lain mengatakan "Hari ini
adalah pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang
diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk
mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa
mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan"
Berdirinya
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh Lafran Pane, seorang
mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam
Indonesia) yang masih duduk ditingkat I. Tentang sosok Lafran Pane,
dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran
Pane lahir di Sipirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pemuda Lafran
Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim pernah menganyam
pendidikan di Pesantren, Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah.
Adapun
latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: "Melihat dan
menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu
itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya.
Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi
masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk
merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai
kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu
menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk
pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan
tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya
melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik
Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan
kemakmuran rakyat.
Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan:a. Mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia .
b. Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Sementara tokoh-tokoh pemula / pendiri HMI antara lain :
1. Lafran Pane (Yogya),
2. Ahmad Sadali (Lambang HMI)
3. R. M Akbar (Hymne HMI / Medan)
4. Karnoto Zarkasyi (Ambarawa),
5. Dahlan Husein (Palembang),
6. Maisaroh Hilal (Singapura),
7. Suwali, Yusdi Ghozali (Semarang),
8. Mansyur, Siti Zainah (Palembang),
9. M. Anwar (Malang),
10. Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi (Malang),
11. Baidron Hadi (Yogyakarta).
Faktor Pendukung Berdirinya HMI
a) Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI dan Kota Perjuangan
b) Pusat Gerakan Islam
c) Kota Universitas/ Kota Pelajar
d) Pusat Kebudayaan
e) Terletak di Central of Java
f) Kebutuhan Penghayatan dan Keagamaan Mahasiswa
g) Adanya tuntutan perang kemerdekaan bangsa Indonesia
h) Adanya STI (Sekolah Tinggi Islam), BPT (Balai Perguruan Tinggi)
i) Gajah Mada, STT (Sekolah Tinggi Teknik).
j) Adanya dukungan Presiden STI Prof. Abdul Kahar Muzakir
k) Ummat Islam Indonesia mayoritas
Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan
Ada
dua faktor yang sangat dominan yang mewarnai Perguruan Tinggi (PT) dan
dunia kemahasiswaan sebelum HMI berdiri. Pertama: sistem yang diterapkan
dalam dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya adalah sistem
pendidikan barat, yang mengarah kepada sekulerisme yang "mendangkalkan
agama disetiap aspek kehidupan manusia". Kedua : adanya Perserikatan
Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di
Surakarta dimana kedua organisasi ini dibawah pengaruh Komunis.
Bergabungnya dua faham ini (Sekuler dan Komunis), melanda dunia PT dan
Kemahsiswaan, menyebabkan timbulnya "Krisis Keseimbangan" yang sangat
tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara akal dan kalbu, jasmani dan
rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.
Reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI1. Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY)
Reaksi
PMY adalah bersifat idiologis, HMI dianggap saingan ketat kehilangan
pengaruh serta kekurangan anggota. Mereka mempropaganda bahwa HMI akan
bubar dan mati tapi kenyataannya mereka yang mati dan bubar.
2. Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII)
Reaksi
dari GPII bukan bersifat idologis, tapi kurang pengertian. GPII merasa
dirugikan. Dikatakan bahwa mahasiswa juga pelajar/pemuda, karena GPII
ada sekolah pelajar, maka tidak perlu didirikan organisasi mahasiswa.
3. Pelajar Islam Indonesia (PII)
Di
kalangan PII banyak terdapat anggota GPII, maka reaksi terdapat
kelahiran HMI terdengar dikalangan PII. Dalam kongres I PII di Surakarta
tanggal 14 s/d 16 juli 1947 Lafran Pane hadir, walaupun tidak diundang
dan duduk dibagian belakang, tidak diperkenankan berbicara atas nama PB
HMI, karena PII menganggap HMI tidak ada.
Makna dari lambang HMI adalaha. Bentuk alif
Sebagai huruf hidup, lambang optimisme kehidupan HMI, hurup alif merupakan angka 1 (satu) lambang tauhid, dasar/semangat HMI
b. Bentuk perisaiLambang kepeloporan HMI
c. Bentuk jantung
Jantung adalah pusat kehidupan manusia. Lambang pungsi perkenalan HMI
d. Bentuk pena
Melambangkan bahwa HMI adalah organisasi mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan
e. Gambar bulan bintang
Lambang keimanan/kejayaan ummat Islam seluruh dunia
f. Warna hijau
Lambang keimanan dan kemakmuran
g. Warna hitam
Lambang ilmu pengetahuan yang tidak terbatas
h. Keseimbangan warna hijau dan hitam
Lambang esensi keseimbangan kepribadian HMI
i. Warna putih
Lambang kemurnian dan kesucian perjuangan HMI
j. Puncak tiga
Lambang Islam, iman, dan ikhsan, lambang iman, ilmu, dan amal
k. Tulisan HMI
Singkatan dari Himpunan Mahasiswa Islam
1. Fase Pengokohan (5 Februari 1947 – 30 November 1947)
Selama
lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI
barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab
berbagai reaksi dan tantangan yang datang silih berganti, yang
kesemuanya itu semakin mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri
tegak dan kokoh.
2. Fase Perjuangan Bersenjata (1947 – 1949)
Seiring
dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka
konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun kegelanggang
pertempuran melawan agresi yang dilakukan oleh Belanda, membantu
Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing,
sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan
PKI di Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad
Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan
wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas
pemberontakkan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke
gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat
PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu nampak sangat
menonjol pada tahun \’64-\’65, disaat-saat menjelang meletusnya
G30S/PKI.
3. Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)
Selama
para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang pertempuran melawan
pihak-pihak agresor, selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan.
Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk merealisir
tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama dan tugas
Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27
Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya
bermunculan di Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah tugas-tugas
konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi organisasi
adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan
dari Yogyakarta ke Jakarta.
4. Fase Tantangan (1964 – 1965)
Dendam
sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI.
Setelah agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI
menganggap HMI adalah kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu bersemangatnya
PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam segala
aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi
riil berupa penculikan, dsb.
Usaha-usaha
yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak
menjadi kenyataan, dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa
yang kontra revolusi, PKI dengan puncak aksi pada tanggal 30 September
1965 telah membuatnya sebagai salah satu organisasi terlarang.
5. Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966 – 1968)
HMI
sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk
menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha
itu tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mar’ie Muhammad
memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas
antara lain : 1) Mengamankan Pancasila. 2) Memperkuat bantuan kepada
ABRI dalam penumpasan Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi
KAMI yang pertama berupa Rapat Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965
di halaman Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta, dimana barisan HMI
menunjukan superioitasnya dengan massanya yang terbesar. Puncak aksi
KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang mengumandangkan tuntutan
rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan tersebut
ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga
tidak sedikit dari pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara
lain : Arif rahman Hakim, Zubaidah di Jakarta, Aris Munandar, Margono
yang gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin, Muhammad Syarif
al-Kadri di Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera yang
berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta
keselamatan bangsa serta negara. Akhirnya puncak tututan tersebut
berbuah hasil yang diharap-harapkan dengan keluarnya Supersemar sebagai
tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.
6. Fase Pembangunan (1969 – 1970)
Setelah
Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen
(meski hal ini perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1
April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun
sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan
serta partisipasinya dalam era awal pembagunan. Bentuk-bentuk
partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang telah menjadi alumni
meliputi diantaranya :
1) Partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan.
2) Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran
3) Partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.7. Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970 – 1998 )
Suatu
ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah kebebasan berpikir
dikalangan anggotanya, karena pada hakikatnya timbulnya pembaharuan
karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari masing-masing
individu.
Disebutkan bahwa
fase pergolakan pemikiran ini muncul pada tahun 1970, tetapi
geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang
terjadi pada tahun 1970 dimana secara relatif masalah-masalah intern
organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara dilain sisi
persoalan ekstern muncul menghadang dengan segudang problema.
Pada
tahun 1970 Nurcholis Madjid menyampaikan ide pembaharuan dengan topic
keharusan pembaharuan didalam pemikiran Islam dan masalah integritas
umat. Sebagai konsekuensinya di HMI timbul pergolakan pemikiran dalam
berbagai substansi permasalahan yang. Perbedaan pendapat dan penafsiran
menjadi dinamika di dalam menginterpretasikan dinamika persoalan
kebangsaan dan keumatan. Hal ini misalnya dalam dialektika dan
perbincangan seputar Negara dan Islam, konsep Negara Islam, persoalan
Islam Kaffah sampai pada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi
Pancasila sebagai bentuk ijtihad organisasi didalam mempertahankan
cita-cita jangka panjang keummatan dan kebangsaan.
8. Fase Reformasi
Secara
historis sejak tahun 1995 HMI mulai melaksanakan gerakan reformasi
dengan menyampaikan pandangan, gagasan dan kritik terhadap pemerintahan.
Sesuai dengan kebijakan PB HMI bahwa HMI tidak akan melakukan
tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontatif. Gerakan koreksi
pemerintahanpertama disampaikan pada jaman konggres XX HMI di Istana
Negara tanggal 21 Januari 1995. kemudian peringatan MILAD HMI Ke 50
Saudara Ketua Umum Taufiq Hidayat menegaskan dan menjawab kritik-kritik
yang menyebutkan bahwa HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI
kekuasaan bukanlah wilayah yang haram. Tetapi adalah wilayah pencermatan
dan kekritisan terhadap pemerintahan. Kemudian dalam penyampaian Anas
Urbaningrun pada MILAD HMI ke 51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22
Pebruari 1998 dengan judul “Urgensi Reformasi bagi Pembangunan Bangsa
Yang Bermartabat”.
9. HMI pasca Reformasi – kini
HMI
pasca reformasi hingga kini memang sudah menuai beberapa kemunduran,
dibanding para founding father kita. Namun, untuk meminimalisir hal
tersebut tentu kita harus tetap kembali kepada tujuan HMI, terbinanya
insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam serta
bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai
Allah SWT...
Tentu, tantangan
kita hari ini lebih berat, namun bagaimana pun kita menempatkan HMI
sebagai second university yang senantiasa dinamis dan berkesinambungan.
Langganan:
Postingan (Atom)