1. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap
mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar
yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara intuitif (common
sense) yang menjadi Kepercayaan utama makhluk sebelum ia merespon segala
sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi
untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui
aktivitas berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya
memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan
sebelumnya.
Memiliki sebuah kepercayaan
yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah
kemestian bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku
manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang
berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya
pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang. Manusia
harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala
potensi yang dimilikinya.
Kajian yang mendalam tentang
kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah
kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan
cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan
nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna
(Al-Haqq).
Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang
ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna)
tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan
sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya.
Metafisika
Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir
mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan
WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan
Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada
sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang
mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan.
Manusia -
yang terbatas - tidak sempurna – tergantung - memerlukan sebuah sistem
nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman
hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang
Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi
akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan
bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi
rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan
intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.
Sekalipun
demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang Mahasempurna itu diklaim
oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai
konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama
lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua
agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang
benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok
Mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila
sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan
sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama.
Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab
bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang
mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu
agama saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan
pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara
argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan,
membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil.
Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh
sosok “Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan
(pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia
(Yang diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna,
bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan
adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak
terdiri dari bagian, tidak terindera
secara material, dan tunggal (Esa/Ahad).
Dengan
demikian diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum
Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim
dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan
Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan.
Ketika manusia menyebut “Dia Mahabesar“. Sesungguhnya Ia lebih besar
dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal
tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat
zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan
oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan
kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan
manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak.
Keinginan
untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan
Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang Mahaadil mesti
membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam
berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan
sesuai dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang
suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang
memiliki ketinggian spritual.
Relasi konseptual tentang
ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk secara terus menerus
dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok
pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak
prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan
kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada
mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan.
Bukti kebenaran
rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata
(empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun
bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang mustahil dapat
dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa
kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga
sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada
Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang
luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul
melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan
diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan
firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi
lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-keterangan tentang
segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada
hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik
dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas
Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang
Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang
disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan
(syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa)
Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah).
Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah).
Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran
(Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat
ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah,
historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang
terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini.
Konsukuensi
lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan dan kerasulan
adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih
kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan
keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat
temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang
sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara
besar-besaran (qiyamah/ kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai
konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan permulaan bentuk
kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi. Disana tidak
ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat
yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar